English French Spain Russian Portuguese Japanese Korean Chinese Simplified

01 Juli 2014

MUI: Stop Politisasi Agama

TELAGASARI, SK - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Telagasari menyerukan para ustad dan guru ngaji untuk tidak menjadikan simbol agama sebagai tameng kepentingan politik. Tak hanya itu, MUI Kecamatan Telagasari juga meminta para tokoh agama untuk tidak meggunakan dalil-dalil agama sebagai jualan politik untuk menarik dukungan.
Apalagi dalil yang digunakan tanpa tafsiran dan salah kaprah. "Kami menyerukan agar simbol agama dan dalil agama tidak dijadikan dagangan politik, meskipun kami tidak menampik bahwa hukum memilih pemimpin itu wajib," kata Ketua MUI Kecamatan Telagasari H Ahmad Jufri Salami.
Menurutnya, terkadang perilaku saling hujat untuk memenangkan capres sampai keluar dalil-dalil agama yang tendensius dan tidak ada esensinya dengan kenegaraan. Ia mencotohkan istilah 'minna wamihum' yang artinya ini golongan kami dan itu golongan mereka. Padahal istilah itu digunakan saat era Nabi Muhammad SAW untuk golongan Islam dan kata 'mereka' itu adalah kafir.
Begitupun saat era orde baru, penggunaan penggalan ayat 'walaa taqrobu haadzihisyajaroh' yang artinya jangan kamu mendekati pohon ini (khuldi) dan justru diartikan pohon beringin. Padahal pohon khuldi itu adalah yang dilarang Allah untuk didekati Nabi Adam. Artinya pohon beringin dikesankan siapapun yang mendekati Golkar adalah tergoda bisikan syetan. "Inilah yang saya maksud, agar umat Islam jangan sembarang menjadikan dalil itu tameng yang justru objeknya tidak jelas, pada akhirnya ukhuwah Islamiyah antar sesama muslim akan pecah," katanya.
Lebih lanjut Kiai Jufri menambahkan, momen pemilihan capres saat bulan Ramadan ini jangan bersaing dengan saling hujat dan memperbesar ghibah, karena ghibah atau menjelekkan orang lain apalagi sesama muslim dengan isu-isu sara jelas mengurangi nilai ibadah puasa. Justru tambahnya, persaingan itu haruslah dijadikan ajang fastabiqul khairat dan jangan saling ghibah, apalagi mengadu domba.
Karenanya sebisa mungkin ia beharap umat Islam bisa menangkis hal itu dengan saling meredam emosi dan memaafkan orang yang berbuat salah sebagaimana petunjuk Allah dalam Quran surat Al Imran 134. Diakui Jufri, politik itu penting untuk kepemimpinan karena haram hukumnya golput, namun ia melihat banyak ustad dan guru agama saat ini menyelipkan pengajian-pengajiannya dengan arahan dukung mendukung. Hal itu menurutnya merupakan hal wajar selama berada dalam rel Islam dan syariatnya, namun jika khawatir bisa memecah belah jamaah dan tidak berpihak pada jalur kebenaran hendaknya dihindarkan. "Tidak sedikit orang berpuasa hanya mendapatkan haus dan lapar saja, hal itu diakibatkan karena ghibah, namimah dan saling hujat, maka umat harus kita bentengi," tambahnya.
Hal senada juga dikatakan penyuluh KUA Kecamatan Telagasari Warhapi. Menurutnya, Islam dalam sejarahnya sudah terpecah di era sahabat Nabi Muhammad, hal itulah yang memunculkan peradaban politik baru sehingga berdiri firqah-firqah dalam Islam seperti Syiah, Mutazilah, Khawarij dan lainnya. Rata-rata lanjut warhapi, hal itu diakibatkan pergolakan politik. "Memang penting umat Islam harus dibentengi, biar bagaimanapun terkadang Islam pecah gara-gara politik dan itu sudah ada sejak zaman Nabi," katanya. (rud)

Cerita lainnya :